Thursday, September 25, 2008

KONSEP AKU



Salah satu yang ku syukuri (walaupun dulu sempat misuh-misuh) setelah masuk fakultas psikologi di UI adalah adanya materi yang punya judul konsep AKU. AKU itu singkatan dari ambisi, kenyataan dan usaha. Konsep tersebut dicetus oleh mas budi, menurutku, what a brilliant concept… intinya sih sebetulnya adalah bagaimana manusia bisa mengembangkan diri. Yah, emang inti dasarnya manusia gak jauh dari adanya ambisi, kenyataan dan usaha yang dilakukan sih… mulai dari ambisi pengen tidur siang sampai ambisi yang jadi cita-cita or obsesi bisa dijelaskan cukup sederhana dengan konsep ini. Dan memang jika lo punya/merasa punya masalah, biasanya gak jauh dari adanya ketidakseimbangan antara ambisi, kenyataan dan usaha…bisa jadi gambaran diri orang tersebut aKU, Aku, AKu, dst..entah ambisinya yang kegedean tanpa mempertimbangkan factor usaha dan kenyataan yang ada padanya mendukung or not…

Teknis pengajaran konsep AKU juga gak ‘pada umumnya’… atau kalau diinget-inget hampir semua materi yang diajarkan mas budi pasti teknisnya kayak ‘gambling’ gak biasa…termasuk materi statistik… he just trying to portrait reality I guess…jadi ujian dengan dia itu merupakan pilihan. Klo gak salah dia memberikan 2 kesempatan ujian (udah lama, jadi agak-agak lupa) di awal ujian itu dia akan mendata siapa yang mau mendaftar untuk ikut ujian kedua, dengan catatan, berapapun nilai ujian pertama lo, kalau ujian kedua lo C, maka yang akan masuk transkrip adalah C. maka kalau yakin udah belajar dan siap di ujian pertama, yah mendingan gak daftar ikut ujian kedua…(somewhat like that lah…lupa euy…intinya dia akan selalu challenge mahasiswanya untuk berani ambil resiko dan berani untuk yakin terhadap kemampuan dirnya…after all, life emang mirip ajang judi, kasarnya…hihihi)

Buatku, suatu materi akan menjadi bermakna kalau bisa kita terapkan, bukan kalau kita bisa dapat nilai yang bagus…(life is more than just a mark on piece of paper) dan aku mencoba menerapkan itu ke kehidupanku…jrengggg…..hihihi, kayak melawan gravitasi jadinya… mencoba untuk membuatnya lebih sederhana ke anak-anak SMA yang mau masuk kuliah tampaknya juga mental euy….(mungkin teknis penyampaianku yang masih belum nemu cara yang tepat) karena mereka jadinya hanya menangkap games-games yang kuberi instead of message that lies behind the games I present…hiks…

Mencoba untuk menerapkannya kepada gurunya, juga mentok ke persoalan: yah, yang kami tahu dari dulu ya begini…toh, pihak sekolah tetep menuntut nilai baik, lulus 100 %, gimana bisa menerapkan system berpikir begitu kepada anak?

Kalau diterapkan di masa kuliah, menurutku agak sedikit telat…karena mereka udah masuk ke jalur-jalur pilihan dan mereka mmutuskan masuk ke jalur-jalur pilihan itu tanpa bisa bertanggung jawab akan pilihan yang mereka buat…which for me, kayaknya sih tanggung jawab itu barang yang langka ya, nowadays…ga atas pilihan jurusan kuliah aja, termasuk pilihan mencari teman, pilihan untuk menghadapi godaan, pilihan-pilihan-pilihan yang akan makin banyak mereka lakukan….

Kita gak pernah diajarkan untuk memilih dengan sadar….

Padahal manusia diserahi tanggung jawab besar dengan adanya akal sehat

hiks

Hikikomori



“bu, tolonglah saya…saya sudah ke mana-mana, sudah banyak uang yang saya habiskan, saya tidak tahu lagi harus kemana…tolong…mengapa anak saya tidak mau keluar rumah?”

“tolong tante X ya, tante sudah berulang kali ke (tenaga professional) tetapi belum ada hasilnya…si A belum mau juga keluar dari kamarnya…”

Entah mengapa, dialog-dialog di atas bermunculan di kepalaku sewaktu sedang membaca artikel tentang hikikomori di sebuah majalah. Majalah itu aku baca saat berusaha menjadi cantik di sebuah salon…hehehe….

Hikikomori, menurut artikel tersebut, adalah suatu fenomena yang dideteksi menjangkiti remaja jepun, yang sebagian besar penderitanya remaja pria (around 13-15 tahun), dimana ia betul-betul ’shut down’ dalam kehidupan sosialnya. Dia memilih untuk berada di dalam kamarnya dan doing god’s know what there...(kalau ada internet, kabarnya, mereka juga masih ’bersosialisasi’ sih, entah dengan sesamanya (katanya ada komunitasnya) atau entah dengan mahluk jenis apa). Mereka kadang juga gak mau berhubungan dengan orang rumah atau keluarganya. Kalau belum terlalu parah, katanya mereka masih sesekali keluar rumah tapi pada waktu-waktu tertentu seperti malam-malam untuk ke supermarket mengambil barang pesanan mereka atau sejenis itu...pokoknya intinya, mereka menutup diri dari lingkungannya. Bagian terbesar hikimori adalah anak-anak dari keluarga menengah ke atas. Di duga salah satu penyebabnya adalah peran orangtua (di artikel itu ditulis: ibu) yang selalu melindungi anaknya, termasuk kebiasaan tinggal bersama anak sampai anak tersebut berusia dewasa, sehingga ketika anak menemui kesulitan atau kegagalan terus, anak memilih untuk ’lari’ dari dunia dan timbullah fenomena hikikomori ini.

Eniweiiii, artikel itu sendiri ditulis pada majalah lama (di salon, jarang banget majalah baru). Dialog-dialog di awal tulisan ini juga terjadi 2 tahun yang lalu (kurang lebih). Dialog-dialog itu diucapkan oleh para ibu yang kuatir dan sayang sekali dengan anak-anak mereka. Anak-anak laki-laki yang menjadi harapan keluarga, yang bersekolah di sekolah terbaik (dalam or luar negeri)...tapi saat itu, saat dialog itu akhirnya terjadi, anak-anak laki-laki mereka tidak lagi bersekolah, tidak lagi beraktivitas. Kegiatan mereka murni di rumah, tidak lagi mau bertemu dengan orang lain. Kalau diulik-ulik, cerita awal mula anak-anak ini menarik diri adalah karena mengalami kegagalan berturut, such as, gak lulus ujian, diputusin pacar, dan hal-hal yang umum lainnya namun berdampak luar biasa buat mereka (at least dalam pikiran mereka) sehingga mereka begitu...anak-anak laki-laki itu bukan lagi muda, rata-rata 20-25 tahun, guanteng, kuayaaa (at least, kecipratan dari orangtuanya), dan sejuta syarat yang terpenuhi untuk di-idolakan.

Kalau dilihat dari faktor keluarga, kemiripannya adalah tidak kompaknya ayah dan ibu, ayah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan ibu yang terlalu terus menerus mengurus anak walaupun anaknya sudah dewasa (mungkin lupa tugas menjadi orangtua adalah apa...emang apa ya tugas jadi orangtua...next writing maybe...hihihi).
Hmmm....lalu kebayang beberapa kasus anak lain...dengan masalah beda tapi menurutku ada di satu jalur...menuju ke arah isolasi diri, misalnya: betapa banyak anak-anak yang mogok sekolah dan difasilitasi orangtuanya untuk berada di rumah; betapa banyak anak yang tidak mengenal tetangganya; betapa banyak anak yang tidak tahu apa-apa...ironis karena mereka dijejali begitu banyak pengetahuan di sekolahnya (sekolah sampai sore, isinya apa kalau gak dibekali pengetahuan bukan ? hehehe)

Tiba-tiba setelah membaca artikel itu, mengingat kembali kasus-kasus itu....jadi sediiiihhhh
(hiks..hiks)

Thursday, September 04, 2008

thank you


Terimakasih karena mau berjalan berdampingan denganku
terimakasih karena mau menjadi orang yang lebih baik bersama-sama
terimakasih karena mensyukuri kecukupan yang diberikan tuhan pada kita masing-masing
terimakasih karena mau memberikan realitas
terimakasih karena sama-sama mau berbahagia
*mmmuuuuaaaaccchhhhhh*

Monday, September 01, 2008

belenggu

katanya pas bulan ramadhan, syaiton di belenggu
tapi kok aku merasa yang jadi tampak terbelenggu adalah manusia ya (atau it just me, hehehe)
yang biasanya merasa 'bebas' melakukan segala sesuatu jadi tampak betul-betul membelenggu dirinya...
tujuan manusia untuk membelenggu dirinya (mudah-mudahan) bukan sekedar untuk menghormati ramadhan saja karena dengan berlalunya bulan ramadhan maka everything pun will turn out to be just the way things are before...
gak lagi tampak efek pendidikan di bulan ini
gak lebih seperti penjara, bulan ramadhan terasa,
dan manusia tak lebih sebagai residivis
apakah sudah sedemikian 'menyetannya' manusia ?
(eh, itu aku aja kali...)