Thursday, September 25, 2008

Hikikomori



“bu, tolonglah saya…saya sudah ke mana-mana, sudah banyak uang yang saya habiskan, saya tidak tahu lagi harus kemana…tolong…mengapa anak saya tidak mau keluar rumah?”

“tolong tante X ya, tante sudah berulang kali ke (tenaga professional) tetapi belum ada hasilnya…si A belum mau juga keluar dari kamarnya…”

Entah mengapa, dialog-dialog di atas bermunculan di kepalaku sewaktu sedang membaca artikel tentang hikikomori di sebuah majalah. Majalah itu aku baca saat berusaha menjadi cantik di sebuah salon…hehehe….

Hikikomori, menurut artikel tersebut, adalah suatu fenomena yang dideteksi menjangkiti remaja jepun, yang sebagian besar penderitanya remaja pria (around 13-15 tahun), dimana ia betul-betul ’shut down’ dalam kehidupan sosialnya. Dia memilih untuk berada di dalam kamarnya dan doing god’s know what there...(kalau ada internet, kabarnya, mereka juga masih ’bersosialisasi’ sih, entah dengan sesamanya (katanya ada komunitasnya) atau entah dengan mahluk jenis apa). Mereka kadang juga gak mau berhubungan dengan orang rumah atau keluarganya. Kalau belum terlalu parah, katanya mereka masih sesekali keluar rumah tapi pada waktu-waktu tertentu seperti malam-malam untuk ke supermarket mengambil barang pesanan mereka atau sejenis itu...pokoknya intinya, mereka menutup diri dari lingkungannya. Bagian terbesar hikimori adalah anak-anak dari keluarga menengah ke atas. Di duga salah satu penyebabnya adalah peran orangtua (di artikel itu ditulis: ibu) yang selalu melindungi anaknya, termasuk kebiasaan tinggal bersama anak sampai anak tersebut berusia dewasa, sehingga ketika anak menemui kesulitan atau kegagalan terus, anak memilih untuk ’lari’ dari dunia dan timbullah fenomena hikikomori ini.

Eniweiiii, artikel itu sendiri ditulis pada majalah lama (di salon, jarang banget majalah baru). Dialog-dialog di awal tulisan ini juga terjadi 2 tahun yang lalu (kurang lebih). Dialog-dialog itu diucapkan oleh para ibu yang kuatir dan sayang sekali dengan anak-anak mereka. Anak-anak laki-laki yang menjadi harapan keluarga, yang bersekolah di sekolah terbaik (dalam or luar negeri)...tapi saat itu, saat dialog itu akhirnya terjadi, anak-anak laki-laki mereka tidak lagi bersekolah, tidak lagi beraktivitas. Kegiatan mereka murni di rumah, tidak lagi mau bertemu dengan orang lain. Kalau diulik-ulik, cerita awal mula anak-anak ini menarik diri adalah karena mengalami kegagalan berturut, such as, gak lulus ujian, diputusin pacar, dan hal-hal yang umum lainnya namun berdampak luar biasa buat mereka (at least dalam pikiran mereka) sehingga mereka begitu...anak-anak laki-laki itu bukan lagi muda, rata-rata 20-25 tahun, guanteng, kuayaaa (at least, kecipratan dari orangtuanya), dan sejuta syarat yang terpenuhi untuk di-idolakan.

Kalau dilihat dari faktor keluarga, kemiripannya adalah tidak kompaknya ayah dan ibu, ayah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan ibu yang terlalu terus menerus mengurus anak walaupun anaknya sudah dewasa (mungkin lupa tugas menjadi orangtua adalah apa...emang apa ya tugas jadi orangtua...next writing maybe...hihihi).
Hmmm....lalu kebayang beberapa kasus anak lain...dengan masalah beda tapi menurutku ada di satu jalur...menuju ke arah isolasi diri, misalnya: betapa banyak anak-anak yang mogok sekolah dan difasilitasi orangtuanya untuk berada di rumah; betapa banyak anak yang tidak mengenal tetangganya; betapa banyak anak yang tidak tahu apa-apa...ironis karena mereka dijejali begitu banyak pengetahuan di sekolahnya (sekolah sampai sore, isinya apa kalau gak dibekali pengetahuan bukan ? hehehe)

Tiba-tiba setelah membaca artikel itu, mengingat kembali kasus-kasus itu....jadi sediiiihhhh
(hiks..hiks)