Monday, December 23, 2013

kata suamiku

beberapa bulan belakangan ini aku sedang disibukkan dengan kegiatan membesarkan telur2...
hehe...terdiagnosis PCO membuat aku harus berusaha ekstra untuk memperoleh keturunan
kegiatan yang menurutku cukup melelahkan...
tetapi selama perjalanan itu, alhamdulillah aku tak merasa sendirian
kata suamiku: "Kalau aku kesal sama darling sama aja aku kesal sama Allah, siapa aku, berani2 kesal sama Allah"
hihihi,
sekarang mungkin aku tahu jawaban atas pertanyaan "Why me?"
kalau dulu Sartono Mukadis pernah menulis artikel di koran jawaban atas pertanyaan tersebut adalah pertanyaan kembali, "Why not you?"
mungkin bisa aku tambahkan, siapa aku, berani menggugat keputusan Tuhan ?
alhamdulillah
(^_^)v

Sunday, August 05, 2012

negosiasi sosialisasi

katanya untuk pasangan suami istri, saat istri hendak bepergian, ijin suami penting sebelum ia boleh keluar
apakah hal ini berlaku sama untuk suaminya ?
katanya untuk pasangan suami istri, istri lebih baik bekerja tidak sampai malam untuk kualitas hubungan suami-istri
apakah hal ini berlaku sama ketika suami memutuskan bekerja hingga malam hari?
kira-kira kalau suami ini seorang pekerja antar kota, ketika ia berada di kota yang sama dengan istrinya apakah sang suami akan menghabiskan malam pertama pertemuannya dengan sang istri lewat rapat?
jika ya, apakah sang istri harus memahami dan menerimanya?
jika kondisinya terbalik, sang istri yang pekerja antar kota...apakah suami akan memahami dan menerima kondisi istrinya harus rapat?
pada akhirnya jika ada konflik kepentingan antara suami dan istri, dimana harus ada negosiasi, pihak yang diminta untuk 'mengikuti' ada di suami atau istri?
apakah semua hal memang jadi double standard? tidak mungkin bisa objektif?
bentuk komunikasi yang mungkin banyak dilakukan suami istri jangan-jangan bukan negosiasi tapi sosialisasi...

Thursday, August 02, 2012

comparing the uncomparable

bisakah mengaji dibandingkan dengan slank?
atau
'menonton ustad' dalam pengajian yang bisa dibandingkan dengan menonton konser slank?

&%)W#%%T

mungkin teori yang mengatakan wanita itu lebih menggunakan emosi dibandingkan pria perlu diteliti lebih lanjut...
karena yang ku alami, ini juga bukan hal yang bisa dibandingkan...
sering banget para pria jarang yang berpikir panjang, sehingga tindakannya selalu diambil berdasarkan satu data kecil dan tidak melihat gambaran yang lebih besar dari suatu hal...
memang wanita cenderung lebih ekspresif, tapi sejauh pengalamanku, they do the logical thinking ...

menggunakan hal-hal agamis dan membandingkannya dengan duniawi juga tindakan sekuler bukan?
bagaimana mengajarkan bahwa tuhan itu dekat dan selalu melihat, tapi ada hal-hal yang bisa dengan tuhan dan ada hal-hal yang ga usah bawa tuhan?bagaimana sesuatu yang jadi bagian dari suatu hal besar dibandingkan?

bekukah hati ini tuhan?
sunyiku mudah-mudahan bukan karena kau bekukan hatiku
bismillah

Wednesday, October 12, 2011

being used

aku ga tau apakah curhat kali ini lebay or not.
tapi pengen curhat soal kejadian kemarin padaku.
aku dminta menjadi seorang fasilitator karena keilmuwanku.
acara tersebut adlh acara ke tiga yg sdh dijalankan.
penggagas acara terrsebut memintaku unt jadi fasilitator,
dgn briefing singkat 3 acr sblmnya pada pg hr dan permintaan
unt jadi fasilitator dtg sehari sebelumnya.
saya sadar saya bukan dukun, saya perlu baca situasi, belajar dr situasi dan
membagi pengetahuan soal info tersebut.
waktu acara tsb 1 jam, dan lengkaplah tergagap2nya saya selama 1 jam itu.
feedback yg saya terima sangat buruk! seakan saya yg belajar itu yang paling tdk pny
pengetahuan soal itu dibanding org2 yg jadi pemateri lain.
yang timbul saat itu adlh apa yg terjadi dgn konsep awal berbagi ilmu di kegiatan tsb?
mengapa seakan2 ilmu terberi secuplik2 tapi lgs dianggap lengkap?
dan merasa plg tahu, plg paham? tidakkah cara tiap org berbeda?
kebetulan ada saya dan saya dimanfaatkan untuk menyampaikan pesanmu?
lalu saya dikritik krn membingungkan? tidakkah mendengar feedback peserta bhw acara ini juga membingungkan?
maaf kalo lain kali saya harus berkata tidak, cukup, untuk permintaanmu!

Friday, September 23, 2011

masalah kita sama

beberapa waktu lalu sempat dapat kesempatan mengikuti workshop terapi soal managemen emosi...
nah, yang menarik buatku adalah insight yang kudapat setelah sesi latihan. Ceritanya aku jadi pasien...terus aku diminta untuk menuliskan/menyebutkan 6 orang yang paling bermakna dalam hidupku dan orang2 tersebut membuatku menjadi seperti apa sekarang ini.
nah, latihan itu membawaku mengingat2 masa kecil, dan ternyata aku adalah produk multiparenting...hehehe...maklum besar dari keluarga pekerja, maka aku mengalami banyak tipe pengasuh, mulai dari ii, kungkung, mbak, dst, walaupun orangtua tetap berperan besar...
Nah, dari sesi terapi itu, aku jadi sadar bahwa pengasuhan multi itu membawaku menjadi seperti sekarang ini: penuh dengan topeng untuk menyenangkan orang lain. Di hadapan A, aku akan bersikap A, di B akan bersikap B, dst sehingga sulit menunjukkan siapa saya. Kayaknya lagi sebagai anak pertama aku cukup 'dituntut' untuk memberi contoh terbaik...
hmmm....si terapis memberikan pertanyaan padaku, "if you always show the person you think i want you to be, then how can i help you? If you always want to please me, how can I know what you want, what you need?"
hehehe....kayaknya aku merasa agak aman untuk show me who i am ya di kuliah profesi kemarin itu!
Nah, salah satu mahasiswaku hadir untuk konsul masalah yang serupa dengan yang aku alami...doengg....bagaimana menjawabnya yaaaa

Wednesday, February 09, 2011

sebatas berita

beberapa saat lalu berkesempatan menonton acara televisi yang mengambil topik 'seks bebas di kalangan remaja'. bentuk acaranya berupa talkshow dengan sisipan 'tips'/ilmu dari pakar...waktu itu yang dihadirkan adalah pakar psikologi yang mendalami masalah seks.
Dari acara tersebut sang pakar menyayangkan bahwa kasus seks ini belum dianggap sebagai sesuatu yang serius sehingga menjadi sekedar berita saja, padahal menurutnya hal ini bisa mengancam bangsa, menimbulkan kehancuran jika dibiarkan saja.
Banyak hal yang bisa mengancam bangsa, menimbulkan kehancurannya dan saat ini, dibangsa ini sedang dipupuk hal-hal tersebut.
Sumber dasar yang menurutku tidak dilihat adalah penggunaan akal sehat...tidak ada lagi yang mempromosikan hal ini. Semua sibuk bergulat dengan masalah-masalah teknisnya. Seks, kekerasan, korupsi, semua masalah teknis....tapi semua juga berlomba-lomba membuat ajang mencegah hal-hal tersebut, lewat kantin kejujuran, UU pornografi, dst...tapi kalau yang kita sumbat adalah hal-hal tersebut yang ibarat ranting atau dahan sebuah pohon, maka ia akan menumbuhkan ranting baru, dahan baru dan masalah baru lagi, sedangkan akarnya tidak diapa-apakah...ranting yang busuk akan tetap ada kecuali diberi pupuk pada akarnya mungkin...
Nah, kalau selama ini penggunaan akal justru 'dimatikan' bagaimana mungkin semua masalah 'masyarakat' itu akan hilang ?
Apa ada promosi akal untuk penggunaan di sekolah ? yang ada hanya untuk menggunakan fungsi memori dan cara cepat, instant untuk membangun karakter...errr...emang bisa ?
Praktek keagamaan ? err...ritual yang di'elu-elu'kan itu sama sekali tidak merangsang akal bekerja, why, how, what, semua dilewatkan...dianggap sudah default jadi gak perlu tanya-tanya, gak guna...cinta tidak akan tumbuh dari rasa takut, man! akhirnya ritual tidak akan menumbuhkan apa-apa kecuali robotic behavior
building character program....how can it be kalau satu sama lain tidak berkomitmen enough untuk saling mendukung dan sabar enough untuk mengetahui bahwa proses itu terjadi tidak dengan sulap?
Dengan berbagai acara televisi yang ada sekarang, bagaimana mungkin akal sehat bisa terlatih ?
Acara debat di televisi, bukan untuk mencari solusi, hanya untuk show time...
Acara diskusi di televisi, tidak menghadirkan kesimpulan apa-apa, bahkan terkadang pembawa acaranya tidak menguasai materi maupun tokoh yang diajak diskusi...
acara lain di televisi...hmmm....
sebatas berita...tak lebih

Tuesday, February 08, 2011

soal pengasuhan anak

beberapa hari yang lalu di televisi rame lagi soal 'ricuh' dua artis yang sudah divorce.
sebut saja si A dan B, yang lagi meributkan 'pengasuhan' anak-anak mereka yang diistilahkan referendum.
si B mengungkapkan 'kesal'nya karena merasa anak-anak 'diharuskan' untuk memilih A, padahal sebagai anak tentu ingin bersama A dan B, tidak harus memilih.
Ricuh ini jadi lebay karena narasi televisi yang ikut buat cerita sendiri...yang,astaganya, karena 'ingin' berimbang-atau biar rame- lalu mewawancarai A dan B, tapi buat kesimpulan sendiri dengan narasinya itu.
Lucunya, semua acara yang memuat peristiwa ini memiliki kesamaan persepsi cara melihat kasus tersebut.
BUatku justru cara yang digunakan A adalah salah satu cara, yang menurut teori, tepat dalam mengasuh anak. ia mengajarkan konsistensi, satu pedoman yang perlu diikuti anak. Bayangkan jika seorang anak dari keluarga bercerai boleh dengan bebas ke ayah dan ibunya. Darimana ia akan belajar nilai kehidupan yang ingin ditanamkan oleh orangtua. karena:
1. dengan A dan B yang bercerai sudah tentu tidak sepaham dalam berbagai hal, mungkin termasuk pengasuhan anak, bagaimana mungkin si anak akan bisa tumbuh menjadi pribadi yang 'tunggal' jika setiap kali ia berada di rumah ayah ia belajar cara A tapi dinegasikan di rumah ibu? untuk anak remaja pula
2. dengan perbedaan pandang itu, bagaimana mungkin anak bisa belajar konsekuensi perilaku jika dengan mudah setiap kali ia konflik kepentingan dengan A, maka ia akan ke B untuk dapat apa yang diinginkan anak dan sebaliknya ? Bagaimana ia belajar apa yang penting ?
Mendengar hasil wawancaranya, aku melihat tidak cermatnya sang wartawan mengambil inti berita, atau memang justru cermat sekali karena yang diperhatikan adalah sisi 'ribut/kontroversi'nya ? toh si tokoh sudah bilang kalau ia ingin mendidik anaknya tidak plin-plan, maka cara yang diambil pun yang ia sudah katakan...betul, kalau anak sudah memilih, maka ia bertanggungjawab untuk menjalankan konsekuensi pilihan tersebut....apapun pilihannya...
tapi mungkin caranya kurang komunikatif ya...
entah, tapi aku merasa gak nyaman dengan pembelokan berita...
ini baru kasus rumahtangga...
kasus lain yang lebih besar kalau dibelok-belokkan gimana jadinya...
sedih